Rabu, 16 Februari 2011

REKONSILIASI KEPENTINGAN EKONOMI, EKOLOGI, DAN BUDAYA DALAM PENJABARAN RTRWP BALI




Oleh: I Wayan Gede Sunandana

Terlepas dari segala konflik kepentingan yang ada didalam upaya untuk menegakkan ataupun merevisi Perda Provinsi Bali No.16 Th 2009 tentang RTRWP Bali, apresiasi layaknya patut diberikan kepada para pemimpin Bali, baik pemimpin pemerintahan maupun pemimpin spiritual umat, atas kepedulian dan dedikasinya dalam mencari solusi terbaik guna menyelamatkan tata ruang Bali, yang tentunya bermuara pada terciptanya kehidupan rakyat Bali yang sejahtera secara material spiritual, secara adil dan merata.

Realita kondisi tata ruang Bali sekarang ini cenderung mengarah pada ketidakteraturan pemanfaatan ruang. Alih fungsi ruang terbuka hijau yang tak terkendali, eksploitasi lahan secara berlebih untuk fasilitas pariwisata, abrasi yang merajalela, ketimpangan pembangunan antar wilayah, luas hutan yang semakin berkurang, kawasan kumuh semakin menjamur, urbanisasi meningkat, yang kesemuanya itu berujung pada degradasi kualitas lingkungan. Perubahan memang harus terjadi, Pembangunan fisik memang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan sarana dan prasarana fisik guna mensejahterakan masyarakat, tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana pembangunan itu diatur, dikendalikan dan diarahkan agar betul-betul memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Bali, bukannya justru mengancam eksistensi manusia, alam, dan budaya Bali.

Secara prinsipil, RTRWP Bali harus bisa membuat manusia Bali siap untuk menjadi pemain dominan dari segala proses pembangunan dan menerima manfaat terbesar dari pembangunan itu sendiri, RTRW Bali harus bisa memberikan jaminan kelestarian alam dan kebudayaan Bali dari generasi ke generasi. RTRW Bali hendaknya dapat menyadarkan masyarakat Bali, pemerintah, dan investor untuk lebih menghargai Bali itu sendiri, bukan memperlakukanya sebagai obyek eksploitasi tanpa batas. Kita hendaknya jangan cenderung terjebak pada model pariwisata yang bertujuan mendapatkan hasil instant dengan menggadaikan masa depan Bali, generasi masa depan Bali yang menerima konsekuensi dari segala kebijakan ataupun perbuatan yang kita lakukan hari ini. Investasi dari investor menjadi sangat penting ketika kita mampu mengarahkan, menempatkan, dan mengaturnya secara proporsional dan tepat guna, dan akan menjadi bumerang bila Bali yang diarahkan dan diatur olehnya.

Kalau dilihat dari pemberitaan media massa akhir-akhir ini, tampaknya yang menjadi polemik dari RTRWP Bali adalah mengenai masalah radius kawasan tempat suci dan kawasan sempadan pantai. Beberapa pihak mengkhawatirkan penerapan aturan ini akan memasung hak-hak masyarakat lokal untuk mengembangkan wilayahnya dan mendapat keuntungan darinya. Hal-hal yang perlu kami tanggapi dari masalah ini adalah sebagai berikut:

Dalam RTRWP Bali, definisi Kawasan Tempat Suci adalah kawasan di sekitar pura yang perlu dijaga kesuciannya dalam radius tertentu sesuai status pura, sebagaimana ditetapkan dalam Bhisama Kesucian Pura Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) Tahun 1994. Pada bagian Penjelasan disebutkan: “Mengingat bahwa hitungan luas radius kesucian pura di Bali bila dituangkan dalam peta meliputi luas diatas 35% dari luas wilayah Pulau Bali (berdasarkan luas radius 10 Pura Sad Kahyangan dan 252 Pura Dang Kahyangan) dan mengingat bahwa untuk mengakomodasi perkembangan pembangunan akan dibutuhkan lahan-lahan untuk pengembangan kawasan budidaya, maka dilakukan penerapan pengaturan tiga strata zonasi (utama/inti, madya/penyangga, nista/pemanfaatan terbatas) dengan tetap memegang prinsip-prinsip Bhisama Kesucian Pura, dan memberi keluwesan pemanfaatan ruang selama tidak mengganggu nilai kesucian terutama pada zona nista/pemanfaatan terbatas yang diuraikan lebih lengkap pada arahan peraturan zonasi.

Untuk memberikan kesempatan berkembang kepada masyarakat yang memiliki aset tanah dan atau bangunan yang berada dalam radius kawasan tempat suci, maka dalam peraturan zonasi detail radius kawasan tempat suci, terutama pada zona madya dan kanista perlu dikembangkan suatu fungsi pariwisata spiritual dan wisata pendidikan berbazis budaya dalam rangka menggerakan roda ekonomi kerakyatan yang dirancang dengan tanpa mengurangai nuansa religius dalam radius kawasan suci dan tetap menampilkan keunggulan karakter budaya setempat. Wisata spiritual tersebut misalnya dengan membuat pesraman (semacam yoga/meditation center) yang bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Bali tapi dibuka juga untuk wisatawan. Wisata pendidikan berbasis budaya, misalnya dengan membuat museum yang mendokumentasikan sejarah Pura, produk seni budaya setempat dari zaman ke zaman, film dokumenter sejarah dan budaya, seperti information center yang ada pada kawasan wisata Candi-Candi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, sehingga bisa dimanfaatkan untuk study tour bagi anak-anak sekolah dari Bali maupun luar Bali. Prinsipnya, kita bersama mencoba mencari format yang merupakan titik temu antara kepentingan ekonomi masyarakat dengan pelestarian agama dan budaya. Dalam hal ini diperlukan kesungguhan, kerja keras, dan kreativitas pemerintah, masyarakat, organisasi sosial seperti Desa pekraman dan Subak, dalam merencanakan, mewujudkan, mempromosikan dan mengembangkan pariwisata spiritual dan budaya, karena pada dasarnya Pariwisata Budaya dari sejak dulu dicanangkan sebagai pilot project pengembangan pariwisata Bali.

Menurut pendapat kami, pembangunan permukiman untuk penduduk setempat tidak dilarang berada dalam radius kawasan suci karena mereka juga merupakan salah satu komponen penyangga kawasan suci itu sendiri. Pada zona utama, fungsi/fasilitas yang dibuat, ditujukan untuk menunjang kegiatan keagamaan di Pura, misalnya wantilan, bale pesandekan, bangunan untuk fasilitas pengelolaan seperti balai informasi, kantor panitia pengempon/pengelola pura dan kawasan sekitarnya, dan fungsi lain yang bersentuhan langsung dengan kegiatan keagamaan di pura tersebut.

Masyarakat yang mempunyai tanah hak milik dalam zona utama ini (selain tanah plaba pura) perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah misal dalam bentuk pengurangan pajak, penyesuaian NJOP ataupun keringanan kewajiban lainnya. Pendapatan yang diperoleh dari pengeloaan wisata spiritual dan wisata budaya pada zona madya dan kanista juga dapat disubsidikan kepada masyarakat yang memiliki aset tanah yang tidak boleh dibangun di zona utama radius kesucian Pura. Pemerintah juga dapat memberikan bantuan insentif pembudidayaan tanaman pertanian dan perkebunan bagi petani di zona utama. Model wisata lintas alam seperti napak tilas, hiking, jogging, sekiranya tidak terlalu bertentangan dengan nuansa radius kawasan suci. Pada jalur napak tilas (jalur pedestrian) yang berada pada zona utama radius kesucian pura, dapat dihiasi dengan aneka karya seni masyarakat yang ditampilkan secara estetis dan proporsional (tidak terlalu dominan terhadap lingkungan alam) misanya berupa patung, relief yang bercerita tentang sejarah dan lain sebagainya. Bisa juga pada area ini dibuat suatu tempat meditasi bersama. Kesemua kegiatan wisata itu dikemas dalam suatu packaging yang unik (bercitarasa budaya lokal).

Bagi masyarakat yang sudah memiliki bangunan di zona utama, sejauh mungkin dilakukan upaya penyesuaian fungsi bangunan agar tidak bertentangan dengan nuansa kesucian Pura, tampilan fisik bangunan juga perlu disesuaikan agar cocok dengan fungsi kawasan. Tentunya kita tidak boleh dan tidak mungkin melakukan pembongkaran paksa terhadap bangunan masyarakat yang sudah terlanjur ada tersebut karena bertentangan dengan hak asasi manusia, yang bisa dilakukan adalah upaya mediasi dan penataan secara optimal dalam rangka penyesuaian dengan fungsi kawasan. Selain itu masyarakat/investor tersebut, juga wajib memberi kompensasi lebih kepada pemerintah yang dapat digunakan untuk menata radius kawasan suci ini.

Polemik lainnya adalah mengenai sempadan pantai. Yang dimaksud kawasan sempadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, keselamatan bangunan, dan ketersediaan ruang untuk publik. Jadi adanya sempadan pantai, akan lebih menjamin keselamatan penghuni kawasan beachfront, serta menjamin tersedianya ruang untuk kesinambungan pelaksanaan upacara keagamaan yang biasa dilakukan umat Hindu di pantai.