Jumat, 19 Juni 2009

BALI BUKAN SAPI PERAH IMPERIALIS EKONOMI

Seiring laju modernisasi peradaban manusia, terpaan gelombang globalisasi yang membawa serta angin perubahan telah merambah berbagai sisi kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Telah beberapa dekade lamanya, industri pariwisata yang mengalir mendominasi kegiatan perekonomian masyarakat Bali selain sektor pertanian, bahkan sektor-sektor lain seperti perdagangan dan jasa, ditujukan untuk mem-back up industri pariwisata.
Harus diakui, pariwisata telah memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat (membuka lapangan pekerjaan), mempercepat penyerapan teknologi dan merangsang laju pembangunan infrastruktur di Bali. Tapi bagaimana dampaknya terhadap alam serta eksistensi manusia dan kebudayaan Bali, yang membedakan Bali dengan tempat-tempat lain di bumi?. Dari pinggir pantai sampai lereng bukit, banyak lahan yang telah beralih fungsi menjadi sarana penunjang pariwisata termasuk berjamurnya pembangunan apartemen dan kondominium belakangan ini. Memang, pemegang otoritas kebijakan telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), dsb, tapi masalah klasiknya terletak pada kelemahan substansi dan penegakan peraturan. Kehadiran fasilitas kondominium, apartemen dan sebangsanya perlu dikaji secara komprehensif, bukan dari segi penerimaan pajaknya saja, melainkan juga dari segi nilai manfaat sosialnya terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Bali dan ajegnya identitas budaya Bali yang bernafaskan Hindu. Jangan jadikan Bali sebagai objek eksploitasi kaum imperialis ekonomi karena itu akan menyuburkan liberalisasi ekonomi dan menimbulkan efek ketergantungan terhadap pemodal besar sehingga segala produk kebijakan yang menentukan arah pembangunan Bali ditentukan oleh kepentingan mereka.

Pembangunan kondominum dan apartemen yang marak belakangan ini perlu dikaji prosesnya secara mendetail baik dari segi aturan tata guna lahan, tata bangunan (adaptasi terhadap arsitektur Bali), dampak terhadap lingkungan (secara fisik dan nonfisik), keterlibatan SDM lokal, transfer pengetahuan dan teknologi serta kontribusinya terhadap pembangunan daerah baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Dengan kata lain segala bentuk kerjasama dengan investor harus bisa membuat kita optimis bahwa generasi mendatang bisa menikmati situasi dan kondisi Bali yang lebih baik daripada yang kita nikmati sekarang. Dalam hal ini, jenis dan sistem pembangunan yang mendatangkan manfaat berkelanjutan (sustainable development) perlu menjadi pilihan utama. Jadi tidak seperti menambang emas, setelah emasnya habis dikeruk, lahan pertambangannya dibiarkan terbengkalai dan pekerjanya kembali menyandang gelar pengangguran.

Untuk jangka pendek, pemerintah perlu merancang model-model investasi alternatif yang dapat disodorkan kepada investor, seperti investasi pada bidang infrastruktur umum, pertanian organik, pertanian lahan kering, peternakan bibit unggul Bali, perikanan dan kelautan serta alternatif lainnya. Terkait dengan hal ini diperlukan pemetaan potensi daerah secara aktif dan terpadu. Walaupun sulit, asalkan ada kemauan, kerja keras, dan partisipasi aktif pemerintah bersama masyarakat, pastilah ada jalan untuk mengoptimalkan potensi-potensi daerah tersebut sehingga mendatangkan manfaat bagi kita bersama. Perlu disadari bahwa segala bentuk proses pembangunan yang kita lakukan sekarang tujuan jangka panjangnya adalah untuk kemandirian rakyat Bali. Muara dari kemandirian itu adalah terciptanya ketahanan ekonomi krama Bali yang handal, sehingga kita tidak perlu terlalu banyak bergantung pada investor. Terkait dengan hal itu pemerintah hendaknya mengarahkan sektor perbankan (terutama bank-bank pemerintah) agar tidak terlalu banyak menyalurkan dana untuk memodali developer kondominium dan apartemen, tapi hendaknya lebih banyak membantu pengembangan koperasi banjar, LPD, koperasi petani, peternak, pengrajin, pedagang pasar, serta industri rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar