Sabtu, 14 Maret 2009

BALI DIBALIK TIRAI GLOBALISASI

Memang, modernisasi dan globalisasi telah membawa kemajuan dan kemudahan pada peradaban manusia. Laju globalisasi yang mengatasnamakan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik telah merambah berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tak bisa dipungkiri, di dunia ini hanya perubahanlah yang abadi. Semua mahluk termasuk manusia dituntut untuk selalu bisa mengadaptasi perubahan, baik secara evolusi atau revolusi, agar tidak terkena “seleksi alam”. Perubahan itupun tampak jelas di salah satu belahan kecil dunia yang tersohor dengan sebutan Pulau Dewata.
Kontras, kiranya itu pilihan kata yang cocok untuk menggambarkan kondisi Bali tempo dulu dengan sekarang. Tulisan ini bukan bermaksud menatap perubahan dengan wajah prihatin dan pesimis, tapi mencoba untuk memaknai perubahan yang telah terjadi dan mengarahkannya lebih lanjut, agar bisa mendatangkan manfaat bagi Bali, Bali yang utuh, baik manusia, alam, dan budayanya.

Implikasi Pariwisata terhadap Perekonomian dan Lingkungan Bali.
Pada bidang ekonomi, geliat industri pariwisata telah mendominasi kegiatan perekonomian masyarakat Bali selain sektor pertanian, bahkan sektor-sektor lain seperti perdagangan dan jasa, banyak yang membackup industri pariwisata. Daya tarik Bali sebagai destinasi wisata yang sangat populer, telah membuat pariwisata sebagai barometer laju pertumbuhan ekonomi Bali. Harus diakui, pariwisata telah memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat (membuka lapangan pekerjaan), memperluas wawasan, dan merangsang laju pembangunan infrastruktur di Bali. Tapi bagaimana dengan dampak negatifnya? Secara langsung maupun tidak, pariwisata memiliki andil besar dalam mengeksploitasi alam Bali yang bermuara pada degradasi kualitas lingkungan. Dari pinggir pantai sampai lereng bukit, banyak lahan yang telah beralih fungsi menjadi sarana penunjang pariwisata. Memang, pemegang otoritas kebijakan telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), dsb, tapi masalah klasiknya terletak pada penegakan peraturan. Kehadiran fasilitas pariwisata sangat diperlukan untuk memutar roda perekonomian Bali, tapi pembangunannya hendaknya jangan terlalu sporadis dan main hantam disembarang tempat, sehingga bisa menyimpang dari hakikat pembangunan Bali seutuhnya yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana. “Bukan Bali untuk Pariwisata melainkan Pariwisata untuk Bali”, begitu bunyi semboyan lama yang kiranya pantas untuk diresapi dan dilaksanakan secara konsisten oleh para pelaku pariwisata di Bali. Dengan kata lain kemajuan industri pariwisata Bali, bukan ditujukan untuk memupuk kapitalisme, materialisme, dan keserakahan pemanfaatan alam dengan mengesampingkan tatanan nilai-nilai kearifan budaya lokal yang ada.
Nilai budaya yang dimaksud bukan berarti mempraktekkan adat kebiasaan yang sama secara turun temurun, tapi intinya terletak pada kemauan dan kemampuan rakyat Bali untuk mensinergikan adat istiadat dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam kata tradisi terkandung sifat yang dinamis, dan dinamika itulah yang perlu diarahkan supaya tidak menghancurkan identitas tradisi itu sendiri. Tiada pilihan lain, rakyat Bali harus bekerja keras untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang handal, ketahanan yang dimaksud tercipta apabila rakyat Bali bisa menjadi “tuan rumah di rumah sendiri”, menjadi “tuan rumah” berarti potensi dan aset ekonomi yang dimiliki Bali dikelola oleh dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Bali. Terdengar bagus memang tapi susah, memang susah tapi harus dilaksanakan untuk menyelamatkan masa depan Bali.
Lalu, bagaimana dengan investor? Ya, kita perlu mereka. Ibaratnya, kita punya barang, mereka punya uang, tapi disini harus jelas apa yang bisa kita tawarkan dan apa yang bisa mereka beli, serta bagaimana model jual belinya? Mungkin, jawaban bisa tercermin dalam dua kata ini yaitu sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Jadi tidak seperti menambang emas, setelah emasnya habis dikeruk, lahan pertambangannya dibiarkan terbengkalai dan pekerjanya kembali menyandang gelar pengangguran, dengan kata lain segala bentuk kerjasama dengan investor harus bisa membuat kita optimis bahwa generasi mendatang, anak cucu kita, bisa menikmati situasi dan kondisi Bali yang lebih baik daripada yang kita nikmati sekarang.
BERSAMBUNG......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar